semen padang




Kumisnya tipis. Rambutnya lurus. Perawakannya sederhana. Usianya sudah 40. Kamis, 20 September 2012, dia menggunakan kemeja abu-abu. Sepatunya hitam. Terlihat rapi dengan warna semir yang belum memudar.
Hari itu, dia ditemani segelas kopi hitam di salah satu warung kopi di Banda Aceh. Namanya Muhammad Nur. Kadang orang-orang memanggilnya M Nur. Pria ini merupakan seorang Geuchik (kepala desa) di Desa Weu Raya Kecamatan Lhoknga Aceh Besar.
M Nur termasuk salah satu tokoh Lhoknga yang pernah mengadu kepada Komnas HAM, lantaran pihak PT Lafarge Cement Indonesia (LCI) dinilai mangkir dari tuntutan.
M Nur membenarkan pernyataan Yulfan dan Raihal. Katanya pihak LCI memang terlihat tak ingin bekerjasama. Tak jelas alasannya. Buntutnya, dia dan beberapa tokoh Lhoknga lainnya sengaja datang ke Jakarta tepatnya 27 Januari 2012 kemarin.
Dalam pertemuan itu, pihak LCI dan representasi pemerintah, dalam hal ini Bapedal Aceh ikut hadir.  M Nur menyebutkan, persoalan pencemaran lingkungan di wilayah Lhoknga yang sudah menjadi-jadi.
Tidak ada uji pencemaran lingkungan yang dilakukan PT LCI dan Bapedal sebagai langkah antisipatif secara kontinu. Lumrahnya mereka menunggu musibah terjadi. Ketika minyak tumpah di perairan, masyarakat mengalami ISPA, dan bising di level tertinggi terjadi, barulah PT LCI beraksi. Harusnya tidak demikian. M Nur kecewa berat.
Bukan tak beralasan kekhawatiran yang diluapkan M Nur. Sedikitnya, terdapat 70 kepala keluarga yang memiliki lahan perkebunan di sekitar wilayah perusahaan dan eksplorasi batu. Mereka mengeluh karena abu dan kebisingan. Namun tak direspon.
Sebelumnya, persoalan stabilisasi lingkungan pernah diwacanakan melalui Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan dokumen Pemantauan Lingkungan Hidup (LPL). Kabarnya perusahaan memang sudah membuat laporan tersebut. Namun warga tak tahu-menahu. Tak pernah disosialisasikan kepada warga.
“Harusnya setiap periode 6 bulan sekali ada laporan dokumen RKL dan juga LPL,” jelas M Nur.
“Untuk mengantisipasi konflik ini agar jangan sampai berkepanjangan sebagaimana terjadi di luar Aceh, beberapa tokoh masyarakat di Lhoknga dan Leupung mengambil inisiatif melaporkannya pada Komnas HAM,” katanya.
Hasil dari pertemuan itu, Komnas HAM merekomendasi percepatan realisasi tuntutan warga. Salah satunya Komnas HAM meminta PT LCI, Bapedal, dan dengan melibatkan warga membentuk Komite Lingkungan untuk melakukan pengujian dugaan pencemaran lingkungan. Tim ini katanya diharuskan memiliki legalitas formal. Surat Keterangannya (SK) harus diterbitkan oleh Pemerintah Aceh.
Selain itu, soalan hak-hak dasar lainnya baik berupa optimalisasi dana CSR, penempatkan kerja warga lokal Lhoknga dan Leupung juga harus dipenuhi segera.
Ironisnya, mandat Komnas HAM tak digubris kemudian hari. Bahkan sampai saat ini, LCI terkesan lupa diri. Belum ada wujud Komite Lingkungan. Pengelolaan dana CRS tak jelas. Tak ada laporan pencairan yang dipublikasikan secara terbuka. Tak ada juga keterangan kepada siapa saja CSR diberikan. M Nur pun mereka-reka. Siapa bisa menjamin uang CSR tidak dikorup pihak tertentu?
Saking kesalnya, kadang M Nur merasa daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah. Kesalnya terhadap LCI sudah diubun-ubun. Demi upaya pemenuhan hak warga, M Nur tak gentar dengan ancaman apapun. Maka sampai sekarang, M Nur masih melakukan agresi.
Masih dengan kepala dingin, terakhir mereka kembali ke Komnas HAM. Hanya saja cuma di Banda Aceh. Pertemuan itu pada 30 Agustus 2012. Pihaknya kembali dipertemukan dengan LCI, dan Bapedal. Awalnya, M Nur merasa adanya angin segar. Pembahasan mengenai dugaan pencemaran dan kebisingan lingkungan mulai dibahas pada 3 September 2012.
Tim dari Bapedal saat itu turun ke Lhoknga. Tapi M Nur menilai Bapedal tidak professional. Datangnya suka-suka. Lalu pihaknya diminta mendampingi. Sontak saja M Nur berang.  
“Saya sendiri menolak untuk ikut kalau seperti itu,” jelasnya.
“Kan janjinya harus resmi. Harus ada SK yang jelas baru tim bekerja bersama,” sambungnya lagi dengan nada keras.
Akibatnya, kebuntuan kembali terjadi. Tindaklanjut penelitian dugaan dampak lingkungan belum membuahkan hasil. Belum ada kejelasan.
M Nur makin prihatin dengan sikap LCI. Sejurus dengan itu, kegusarannya juga ditujukan kepada pemerintah. Bilamana Bapedal tidak bekerja dengan baik, ada indikasi oknum pemerintah dapat jatah.
Karena itu dia berasumsi, “Apakah pemerintah takut dengan pemilik LCI?” tanyanya tanpa jawab.
Baca juga tulisan sebelumnya: PT LCI: Warga Makan Debu dan Mandi Hujan Asam

Catatan Redaksi: Tim The Globe Journal sedang berupaya mengkonfrontir tulisan ini dengan meminta tanggapan dari pihak PT LCI yang akan diturunkan dalam sebuah tulisan ekslusif berikutnya. Komunikasi The Globe Journal telah diteruskan ke pimpinan Lafarge di Medan/Jakarta oleh pihak manajemen di pabrik Lhoknga.
Tulisan ini akan disajikan berseri untuk meningkatkan perhatian masyarakat untuk sektor pertambangan dan lingkungan hidup.
Bagi Anda sidang pembaca yang memiliki informasi tentang operasional PT. LCI kami persilahkan untuk mengirimkannya kepada kami melalui email:  redaksi@theglobejournal.com

Komentar